Tags

, ,

Ekumene berasal dari bahasa Yunani oikoumene. Dari bahasa itu, kemudian muncullah istilah-istilah “ekumenikal”, ‘gerakan ekumene” dan “ekumenisme”. Akar kata oikoumene mengandung arti “seluruh yang menghuni bumi”. Bumi menjadi “rumah” bagi seluruh kehidupan manusia. Oikoumene seolah berarti a sense of being at home.

Pada pertemuan di Rolle, Switzerland tahun 1951, komite Gereja-gereja se-Dunia mendefinisikan ekumene menjadi “segala sesuatu yang berhubungan kepada seluruh tugas gereja membawa Kabar Baik ke seluruh dunia”. Sebagai salah satu komunitas yang menghuni bumi di tengah komunitas-komunitas lainnya, gereja-gereja dipanggil untuk membawa Kabar Baik bagi seluruh ciptaan. Dasar ber-ekumene itu sendiri adalah Kabar Baik. Dengan demikian, seluruh gereja dalam seluruh tugas membawa Kabar Baik termuat ekumene itu sendiri. Di sinilah persoalan ketika gereja-gereja dalam tugasnya membawa Kabar Baik itu.

Dalam tugas membawa Kabar Baik itu, tidak hanya satu lembaga yang membawanya ke seluruh dunia. Di Indonesia, misalnya, tidak hanya ada satu wadah ekumene. Selain PGI, ada PGPI (Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia), PGLII (Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga Injili Indonesia). Semuanya merasa bertugas membawa Kabar Baik ke seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Ini jelas membuktikan bahwa gereja-gereja atau aliran gereja di Indonesia sudah terbagi, terfragmentasi (divided, fragmented church). Persoalannya mengapa bisa berkembang persekutuan-persekutuan seperti di atas. Gereja-gereja di Indonesia berlomba-lomba membawa tugas memberitakan Kabar Baik menurut versinya masing-masing.

Tulisan ini masih dalam koridor tema: Pemuda dalan Gerakan Oikoumene. Penulis mengambil topik tentang sumbangan psikologi dalam (ber-) ekumene. Tulisan ini terinspirasi oleh siaran televisi swasta yang membahas tentang Psikologi Teroris yang disampaikan oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat. Dari siaran itu, penulis membandingkan dengan gerakan ekumene sendiri. Dari situ, penulis melihat bahwa setiap orang atau komunitas apapun itu mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Penulis berusaha untuk melihat perkembangan ber-ekumene di kalangan pemuda di Indonesia melalui sudut pandang psikologi perkembangan. Apakah sebenarnya kebutuhan manusia-manusia pemuda (Kristen) itu sehingga mereka mengelompokkan diri lalu membentuk sebuah gerakan atau apapun namanya, misalnya pemuda di PGPI, pemuda di PGLII, dsb.?   Mengapa pemuda Kristen ikut dalam sebuah gerakan (mis.ekumene)?

Abraham Maslow menyebutkan beberapa kebutuhan manusia itu. Dari lima kebutuhan manusia, penulis hanya menyebutkan tiga kebutuhan saja yaitu kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta kasih dan rasa diterima, dan kebutuhan untuk dihargai dan menghargai. Setiap manusia memiliki kebutuhan tersebut. Dalam keterlibatan sebuah gerakan, biasanya kita ingin diterima, dihargai dan menghargai, sekaligus rasa aman.

Selain itu, gerakan ekumene juga dapat dilihat dari psikologi sosial. Salah satu pakar psikologi sosial adalah Erik Erickson. Salah satu tahap, dari beberapa tahap perkembangan yang disebutkan, yang menggambarkan kebutuhan orang muda adalah Tahap 6: Masa dewasa muda. Pada dimensi ini ditandai adanya polaritas antara keintiman dan keterasingan. Rata-rata usia 18-40 tahun. Ini adalah masa ketika seseorang menceburkan diri dalam kehidupan bersama di masyarakat maupun di gereja. Orang muda merasa intim ketika hidup bersama dalam masyarakat. Kebalikannya adalah menjauhi orang lain atau masyarakat karena takut kehilangan diri, sehingga menganggap bahwa orang lain adalah saingan.

Dari dua pandangan psikologi tersebut, jelaslah bahwa keterlibatan pemuda dalam gerakan ekumene interfaith (lintas iman) didasari oleh adanya rasa aman, rasa ingin diterima dan cinta kasih, ingin dihargai dan menghargai sekaligus keinginan menceburkan diri dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat di bumi ini. Selain itu, dalam ber-ekumene juga dibutuhkan relasi, sebuah relasi yang luas sekaligus komunikasi. Dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut ditambah dengan pengalaman hidup baik bergereja maupun bermasyarakat, misalnya kemiskinan, kekerasan, kemajemukan, dsb., terbangunlah gerakan ekumene di kalangan pemuda maupun remaja. Pertanyaannya, setelah terpenuhi kebutuhan di atas, adalah kebutuhan yang relevan bagaimanakah yang menjadi kebutuhan bersama kaum muda Kristen, khususnya GKP, pada masa kini? Lalu, apakah kebutuhan itu sungguh-sungguh merupakan kebutuhan bersama kaum muda? Inilah yang menjadi persoalan. Kita ditantang bersama untuk mencari kebutuhan bersama yang kemudian terlibat dalam gerakan ekumene pemuda.

Ber-ekumene bukanlah sesuatu yang instan. Ber-ekumene adalah proses belajar. Ber-ekumene dapat diajarkan pada tahap-tahap perkembangan usia. Kita harus sadar bahwa ber-ekumene itu bukanlah ‘hak milik’ orang dewasa saja. Justru dari usia dini sudah dapat ditanamkan benih-benih ekumene itu. Ketika benih-benih ber-ekumene itu disemaikan pada nara didik usia dini di jemaat-jemaat kita, maka warisan ekumene yang disemaikan pada naradidik-naradidik tersebut tidak akan menjadi fosil. Dari segi usia atau tahap perkembangan manusia, penulis meyakini bahwa ekumene perlu diajarkan.

P.A Crow dalam Harper’s Encyclopedia of Religious Education, menyebutkan bahwa salah satu ciri orang muda adalah sudah terdapat pemahaman mengenai konsep-konsep mengenai iman (mis. Apa itu keselamatan, apa itu iman, dsb.), komunitas dan kesatuan. Namun, konsep-konsep itu akan semakin dipahami melalui aksi dan refleksi. Dalam hal ini, pemuda diajak untuk aktif dan partisipasi dalam kegiatan ekumene dan proyek-proyek pelayanan, misalnya isu mengenai perdamaian dan keadilan, pemuda-pemuda pekerja, pengangguran, dll.

Salah satu langkah, menurut penulis, yang harus dilakukan agar para pemuda terlibat dalam hidup ber-ekumene di Indonesia adalah melakukan pendidikan ekumene di kalangan pemuda gereja. Penulis yakin bahwa tidak semua pemuda Kristen di Indonesia memahami makna ekumene itu sendiri. Mengapa? Karena di dalam jemaat-jemaat sendiri sudah ada persekutuan-persekutuan pemuda dengan segala bentuk dan wadah pelayanannya. Ada beberapa unsur yang dapat diidnetifikasi, yaitu: Pertama, bahwa kita hidup dalam dunia yang terbagi, terfragmentasi. Dari bagian ini, mungkin kita bisa menelusuri faktor-faktor penyebab terbagi atau terfragmentasinya dunia maupun gereja. Misalnya, globalisasi, kemiskinan dan tradisi/ajaran gereja. Kedua, menuntun kita kepada sebuah pemahaman implikasi-implikasi Injil. Bagian ini memperhadapkan tantangan iman secara universal maupun lokal. Dalam sebuah lingkaran kecil, komunitas pemuda menyadari kehadiran Allah di tempat lain. Ketiga, solidaritas, peka, berbagi kehidupan, sensitive sekaligus responsive terhadap mereka yang mengalami penolakan, ketidakadilan, kemiskian, kekerasan, dll. Di sini pemuda diajak untuk bergumul sekaligus mempersiapkan pemuda Kristen menjadi agen-agen perdamaian dan keadilan melalui relasi dengan kelompok etnis, budaya, gereja lainnya. Keempat, spiritualitas. Yang patut dipikirkan, usulan penulis, dalam bagian ini adalah bagaimana menyusun sebuah LITURGI KHUSUS bagi PEMUDA GEREJA. Ini, sepengetahuan penulis, belum dipikirkan, serta tidak ada salahnya untuk dicoba. Mengapa? Karena pemuda-pemuda gereja akan menyadari sekaligus menemukan ulang spiritualitas yang mengikat seluruh pemuda Kristen. Dari hal-hal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa tujuannya adalah membangkitkan iman universal bersama seluruh pemuda Kristen.

Dari beberapa yang disebutkan tersebut, penyusunan program-program pemuda dalam kegiatan ber-ekumene hendaklah disesuaikan dengan identifikasi atau tahap perkembangan serta kebutuhan pemuda itu sendiri. Kita harus cermat melihat kebutuhan-kebutuhan pemuda Kristen dari tiap jemaat secara khusus misalnya di Jakarta dan sekitarnya. Salah satu langkah adalah mensurvei kebutuhan-kebutuhan pemuda tiap jemaat, karena dari situlah Departemen Pemuda dan Remaja PGI dapat menyusun program-program yang kreatif dan menarik minat pemuda.

 

Refleksi

Sebagai bahan refleksi bagi pelaku-pelaku ekumene, perlu kita sadari bahwa ber-ekumene merupakan WARISAN tradisi iman kita bersama. Ber-ekumene bukanlah sesuatu yang kita ciptakan. Dasar teologisnya jelas terdapat dalam Yohanes 17:21. Ber-ekumene juga bukanlah kepentingan sekelompok orang. Apakah pemuda yang tidak terlibat dalam ber-ekumene mengalami keterasingan? Tantangannya adalah bagaimana menggapai (reaching out) kalangan pemuda lainnya yang tidak terlibat dalam karya ber-ekumene.

Memang, pemuda itu tidak sama semuanya. Pemuda dari gereja A berbeda dengan pemuda dari gereja B. Sehingga, pemuda-pemuda Kristen itu diibaratkan, mengutip Parker J. Palmer, sebagai kumpulan orang asing (the company of strangers.). Tinggal tugas kita: bagaimana membuka diri terhadap setiap ide-ide yang ada. Mungkin inilah yang dapat penulis sampaikan untuk penerbitan kumpulan tulisan tentang Orang Muda Bicara Oikoumene (OMBO). Masih banyak yang perlu digali untuk menambah wawasan kita. Semoga tulisan ini membawa sedikit pencerahan bagi pemuda serta menjadi berkat. Terima kasih. Tuhan memberkati kita. Amin.   (Dimuat dalam Orang Muda Bicara Oikoumene, diterbitkan oleh Departemen Pemuda dan Remaja PGI, 2010)

Image

Image

Harun D. Simarmata

Pendidikan Agama Kristen