Tags

,

 

I. Pendahuluan

Menurut Parker J. Palmer, gereja adalah sebuah company of strangers.[1] Artinya gereja adalah persekutuan orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus yang terdiri dari latar belakang yang berbeda. Yang di dalam gereja adalah orang-orang asing satu dengan yang lainnya. Misalnya si A merupakan orang asing bagi si B. Karena itu, kebutuhan manusia yang paling mendalam adalah kebutuhan untuk diterima, diaku, dihargai, dan dihisabkan ke dalam keluarga, komunitas, masyarakat dan bangsa. Setiap orang ingin diterima, diaku, disambut dan diikutsertakan. Pater van Bremen mengatakan bahwa setiap manusia sangat mengharapkan untuk diterima, diterima apa adanya.[2] Menjadi manusia adalah menerima dan memberi; bersedia menerima kasih dan bersedia memberi kasih. Tidak mungkin manusia hidup tanpa sesama manusia.

Kesempatan berinteraksi atau menerima orang asing tidak terjadi begitu saja. Rasa diterima adalah bagaikan ‘udara’ yang mengisi ‘paru-paru’ hidup kita. Salah satu faktor adalah psikologi atau mind-set of time. Kapan sikap hospitalitas ini terbentuk? Sepanjang usia. Pada tiap jenis perkembangan, tahap golongan usia, cara dan kadar hospitalitas tertentu berbeda. Bagaimana hospitalitas itu dapat dijumpai dan dikembangkan dalam tiap tahap perkembangan? Pada makalah Konsentrasi II ini, penulis akan membahas secara singkat sejumlah teori perkembangan yang memberi sumbangan atau ruang-ruang kemungkinan bagi pendidikan hospitalitas. Adapun teori perkembangan yang dimaksud adalah perkembangan sosial, perkembangan iman dan perkembangan moral.

Dalam makalah ini, penulis mengakui banyak kekurangan dalam penulisan. Namun, itu bukanlah kendala bagi penulis untuk terus menggali topik hospitalitas ini dengan beberapa literatur yang ada. Kiranya makalah ini semakin mengembangkan orang-orang untuk bersikap hospitalitas terhadap orang asing di luar dirinya.

 

II. Sumbangan Teori Perkembangan Terhadap Pendidikan Hospitalitas

2.1 Perkembangan Sosial

Manusia adalah homo societa atau makhluk sosial. Artinya, kita adalah makhluk yang paling bergaul, berelasi dalam bermasyarakat. Manusia merupakan kesatuan yang tak terbagi, yang ada bersama orang lain. Manusia baru dapat ada, hidup, karena dan dalam hubungannya dengan yang lain. Manusia hidup bukannya tersekat satu dari yang lain.

Erik Erikson mengemukakan teori mengenai hubungan manusia dengan sosial dan realitas yaitu Teori Psiko-sosial. Menurut Erikson, manusia berkembang melalui delapan tahap dan prestasi yang diharapkan[3], yaitu:

  • Tahap Krisis Pertama (0-1 ½ ): Kepercayaan Dasar lawan Kecurigaan Dasar. Prestasinya yaitu “Saya dapat mempercayai orang”. Untuk pergaulan sehari-hari, sikap saling mempercayai ini terbentuk dari benih kepercayaan dasar ini.
  • Tahap Krisis Kedua (1 ½ -3 tahun) : Mandiri lawan Bimbang. Prestasinya adalah “Saya dapat membedakan dalam kelompok salah dan benar”. Fondasi ini akan memungkinkan anak menaati kebenara Tuhan bukan karena takut hukuman, melainkan karena paham bahwa kebenaran itu mendatangkan kebaikan untuk semua pihak.
  • Tahap Krisis Ketiga (3-6 tahun) : Prakarsa lawan Rasa Bersalah. Prestasinya adalah “Saya dapat berkarya”.
  • Tahap Krisis Keempat (6-12 tahun): Kerajinan lawan Rasa Rendah Diri. Prestasinya adalah “Saya dapat melakukan hal dengan baik”.
  • Tahap Krisis Kelima (12-18 tahun): Identitas lawan Kebingungan Peran. Prestasinya adalah “Inilah saya, laki-laki atau perempuan”.
  • Tahap Krisis Keenam (18-40 tahun): Keintiman lawan Isolasi. Prestasinya adalah “Saya dapat memberikan diri saya kepada orang lain”.
  • Tahap Krisis Ketujuh (40-65 tahun) : Generativitas lawan Stagnasi. Prestasinya adalah “Saya dapat menjadi kreatif dan peduli”.
  • Tahap Krisis Kedelapan (sekitar 65 tahun ke atas) : Integritas lawan Merana. Prestasinya adalah “Saya dapat menjadi lengkap”.

Richard Sennett, sebagaimana dikutip oleh Parker J. Palmer, mengatakan bahwa ide intimasi/keintiman (ideology of intimacy)[4] memiliki sumbangan penting ketika kita hendak memahami bagaimana seharusnya berelasi dengan orang asing. Ketika seseorang berhasil mengembangkan identitasnya, melibatkan diri dan membuat keintiman itu, maka orang asing tidak akan dilihat sebagai saingan atau ancaman. Orang yang asing menurut kita tidak diisolir oleh karena keasingannya. Namun, meskipun demikian, Erikson juga menekankan pentingnya tahun-tahun pertama kehidupan anak sebagai tahun pembentukan dasar-dasar kepribadiannya di kemudian hari.[5] Menurut Erikson, anak yang dibesarkan dalam suasana curiga dan prasangka akan menjadi orang yang sulit menerima dan menjalin hubungan yang mendalam dengan orang asing. Puncak percaya adalah hasil kumulatif pengalaman yang dipelajari anak pada beberapa minggu awal kehidupan sejak lahir.[6]

Dalam suasana saling mencurigai tidaklah mungkin anak mempercayai sesama. Kecurigaan atau prasangka berarti menilai, bahwa sesama tidak jujur, tidak berkehendak baik, dst. Maka hospitalitas hanyalah dapat tumbuh ketika ada keintiman, saling percaya atau kepercayaan. Hospitalitas berkait erat dengan kepercayaan.(trust)[7].

 

2.2 Perkembangan Iman

Manusia adalah homo poeta. Artinya, manusia adalah pemberi makna. Manusia membutuhkan arti dan makna. Iman adalah cara seseorang melihat dirinya sendiri dalam relasi dengan orang lain. Tahap-tahap perkembangan iman yang ditemukan Fowler, sebagai berikut: 1) Primal Faih (Infancy and Undifferentiated faith), 2) Intuitive-Projective Faith (Early Childhood); 3) Mythic-Literal Faith (Childhood and beyond); 4) Synthetic Conventional Faith (Adolescene and beyond); 5)Indiviuative-Reflective Faith (Young Adulthood and beyond); 6) Conjunctive Faith (Early Mid-Life and beyond); 7) Universalizing Faith (Mid-life and beyond).

 

Tahap-tahap perkembangan iman yang dimaksud adalah, yaitu[8]:

  • Primal Faith

Primal untuk menunjukkan arti fundamental tetap dari tahap ini bagi seluruh tahap yang lain. Primal juga mau menitikberatkan nilai unik dan harkat tersendiri masa anak-anak yang tidak hanya merupakan tahap persiapan bagi masa dewasa. Tahap ini sangat mempengaruhi tahap-tahap selanjutnya. Upaya mengasuh dan memperhatikan merupakan dasar dan saluran komunikasi non-verbal pertama yang meyakinkan anak bahwa hidup dan dunia mengandung arti dan makna.

  • Tahap 1: Iman Eksistentisial yang Intuitif – Proyektif

Pada tahap ini, anak (4-7 tahun) mengalami perkembangan iman merupakan hasil dari imitasi, secara khusus dari orang tua sebagai otoritas. Kemampuan mengambil peran orang lain (empati) mulai ada, tetapi hanya dalam bentuk yang paling dasar.Bisa juga pada tahap ini disebut sebagai faith imitated.

  • Tahap 2: Iman Eksistensial yang Mistis – Harafiah

Pada tahap ini, anak (8-12 tahun) mulai membedakan antara dunia “nyata” dengan dunia “fantasy”, mengkonstruksi pandangan individu-individu yang lain dengan susunan sederhana. Anak memiliki kemampuan menarasikan pengalaman dengan simbol-simbol. Kemampuan empatinya bertambah, tetapi hanya bagi mereka ”yang seperti kami,” yaitu, bagi para anggota kelompok terdekat. Tahap ini juga disebut sebagai faith learned.

  • Tahap 3: Iman Eksistensial Sintesis – Konvensional

Pada tahap ini, anak (anak remaja) memiliki kemampuan berpikir secara abstrak dan hipotesis. Anak memiliki kemampuan menerima perspektif individu-individu lainnya dan kelompok. Tahap ketiga adalah tahap ”konvensional” atau ”bersifat menyesuaikan diri,” di mana dalam tahap ini seseorang ingin sekali merespons dengan setia pengharapan-pengharapan dan keputusan-keputusan orang-orang lain yang penting. Anak menjadi menyesuaikan diri pada evaluasi-evaluasi internal mengenai signifikan orang lain. Ada kesadaran terhadap perspektif-perspektif iman orang lain, tetapi kecenderungannya adalah prasangka atau mengasimilasi perspektif-perspektif yang lain menjadi miliknya sendiri (”Mereka benar-benar seperti kami!”). Secara khusus, tahap ini dicirikan adanya konformitas. Pada tahap ini, iman juga disebut sebagai faith by assent.

  • Tahap 4: Iman Eksistensial Individuatif – Reflektif

Pada tahap ini, anak (dewasa dini) terlibat pada proses individualisasi, yaitu mencari, mempertanyakan, meragukan, mengekplorasi, mengartikan, menjelaskan tentang diri mereka.. Sekarang tanggung jawab untuk melakukan sintesis dan membuat makna berubah dari mengandalkan otoritas konvensional ke arah bertanggung jawab sendiri atas komitmen-komitmen, gaya hidup – gaya hidup, kepercayaan-kepercayaan, dan sikap-sikap.Diri sendiri menjadi otoritas. Pada tahap ini, disebut juga sebagai faith self-constructed.

  • Tahap 5: Iman Eksistensial Konjungtif

Pada tahap ini, anak (dewasa menengah/middle adults) mulai mengenal keterbatasan-keterbatasan sistem-sistem nilai dan keyakinan-keyakinan yang telah dibangun. Dengan demikian, anak pada usia ini mulai memiliki keterbukaan (openess) dan kecenderungan untuk bergabung bersama pandangan-pandangan yang majemuk. Ada kualitas komitmen otonom yang baru terhadap pandangan miliknya sendiri, meskipun menghargai dan terbuka dengan tulus pada kebenaran-kebenaran yang ada dalam pandangan-pandangan orang lain.Tahap kelima adalah tahap yang saling tergantung dimana seseorang dapat bergantung pada orang lain tanpa kehilangan kebebasannya. Sekarang ada empati dan kepedulian yang aktif bagi semua orang dan kelompok, bagi seluruh umat manusia, dan tidak hanya bagi komunitas terdekat miliknya sendiri.Tahap ini juga disebut faith expansive.

  • Tahap 6: Iman Eksistensial mengacu pada Yang Universal

Pada tahap ini, anak (very mature adults) bergerak melampaui pada tahap 5 menuju sebuah posisi komunitas universal. Anak-anak pada tahap ini sensitif kepada struktur-struktur sosial yang meminggirkan atau menindas anggota-anggota komunitas universal. Orang yang berada pada tahap keenam tinggal di dunia sebagai orang yang hadir untuk mengubah (transform).Bagi orang-orang yang berada pada tahap enam. komunitas manusia adalah bersifat universal dan inklusif. Tahap ini juga disebut faith universal.

Dengan demikian deskripsi Fowler mengenai perjalanan atau perkembangan kehidupan iman dapat menginformasikan sekaligus menolong praktik pendidikan hospitalitas.Karena menurut James Fowler, bahwa iman seseorang itu mempengaruhi hubungannya dengan kutub yang lain. Dengan demikian, hubungan anak dengan dunia sehari-hari dan dengan orang lain membentuk dan dibentuk oleh hubungan anak dengan pusat-pusat nilai dalam lingkungan anak, dan hubungan anak dengan lingkungan membentuk dan dibentuk oleh hubungan anak dengan dunia sehari-hari dan orang lain.

2.3 Perkembangan Moral

Manusia adalah makhluk yang bermoral. Artinya, manusia diundang untuk secara bebas bertindak, sekaligus bertanggung jawab memilih mana yang terbaik dan dengan sadar memilih. Acuan untuk memahami perkembangan moral adalah perkembangan moral menurut Lawrence Kohlberg. Perkembangan moral yang dimaksud adalah suatu transformasi yang lahir dari bentuk atau struktur pemikiran seseorang. Menurut Lawrence Kohlberg, manusia mempunyai kemungkinan berkembang dalam enam tahap pertimbangan moral, yaitu:

A. Tahap Pra-konvensional

  • Tahap 1: Orientasi pada Hukuman dan Kepatuhan (6-7 tahun)

Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan yang ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau, kalau tidak, akan memperoleh hukuman. Anak berbuat sesuai norma-nomra sosial karena akan diberitahu melakukan hal oleh figur-figur otoritas.

  • Tahap 2 : Orientasi pada Egoistik (8-9 tahun)

Pada tahap ini dicirikan melalui pandangan bahwa perbuatan dikatakan benar ketika berbuat dalam minat terbaik sendiri. Tindakan yang benar terdiri dari memuaskan kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan-kebutuhan orang lain.

B. Tahap Konvensional

  • Tahap 3 : Orientasi Mengenai Anak yang Baik/Manis (10 tahun)

Anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan apakah perbuatan seseorang baik atau tidak baik. Kalau ingin diterima oleh masyarakat, ia harus memperlihatkan perbuatan yang baik.

  • Tahap 4 : Orientasi pada Peraturan (Masa Remaja)

Perbuatan baik yang dilakukan seseorang, selain agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, juga agar ikut mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Apapun yang dikatakan oleh peraturan, itu pasti dianggap baik.

C. Tahap Post-Konvensional

  • Tahap 5 : Orientasi pada Diri dengan Lingkungan Sosial (Dewasa dini)

Pada tahap ini patokan untuk perbuatan baik adalah kesepakatan semua anggota masyarakat. Ukurannya adalah kesejahteraan, kebaikan dan kepentingan umum. Antara seseorang dengan masyarakatnya ada semacam perjanjian ‘Saya akan berbuat baik dan masyarakat tentu akan berbuat baik terhadap saya’.

  • Tahap 6 : Orientasi pada Penghargaan Hak Tiap Orang (Dewasa)

Pada tahap ini perbuatan baik adalah perbuatan yang menghormati dan menghargai hak serta martabat tiap individu, tanpa pembedaan atas dasar apapun.

Kohlberg kemudian menambahkan dua tahap lagi dari enam tahap sebelumnya, yaitu pada tahap keempat setengah dan tahap ketujuh. Pada tahap keempat setengah yaitu tahap ketika seseorang kecewa dengan hukum-hukum masyarakat dan menjadi seorang relativist moral. Tahap ketujuh disebut moral transenden, yaitu menggunakan agama untuk menghakimi tindakan seseorang.

Salah satu contoh kasus menggambarkan perkembangan moral adalah kasus Heinz. Berikut contoh-contoh argumen dari masing-masing tahap tersebut:

  • Tahap 1 : Heinz seharusnya tidak mencuri obat karena takut di penjara
  • Tahap 2 : Heinz seharusnya mencuri obat karena dia senang melihat istrinya  sembuh
  • Tahap 3 : Heinz seharusnya mencuri obat karena istrinya mengharapkannya melakukan demikian
  • Tahap 4 : Heinz tidak seharusnya mencuri obat karena mencuri melawan hukum
  • Tahap 5 : Heinz seharusnya mencuri obat karena setiap orang memiliki hak untuk hidup, tanpa memperhatikan apa yang dikatakan hukum
  • Tahap 6 : Heinz seharusnya mencuri obat karena hidup manusia lebih  bernilai mendasar ketimbang hak-hak milik
  • Tahap 7 : Heinz seharusnya tidak mencuri obat karena penyakit merupakan  bagian dari lingkaran kehidupan – kematian. Mereka seharusnya  menikmati sisa hidup secara bersama.

Setiap individu tidak dapat meloncati tahap-tahap ini, melainkan tiap individu progress atau berkembang melalui tahap demi tahap. Menurut Kohlberg, kita dapat membantu individu berkembang melalui diskusi-diskusi moral serta mendorong individu berkembang ke arah tahap yang lebih tinggi. Selain diskusi-diskusi, perkembangan moral juga muncul melalui interaksi individu dengan lingkungan sosial.

 

III. Kesimpulan           

            Dari ketiga tahap perkembangan di atas, maka menurut pelapor dapat disimpulkan bahwa sikap hospitalitas dapat berkembang pada tahap keenam, ketujuh dan kedelapan (Erik Erickson), tahap kelima dan keenam (James Fowler dan Lawrence Kohlberg). Namun tanpa melupakannya, tahap-tahap awal dari tiap perkembangan juga berperan guna menentukan perkembangan untuk tahap selanjutnya.

Sebagai paguyuban the company of strangers, melalui tahap-tahap perkembangan tersebutlah terjadi peluang-peluang untuk proses sikap hospitalitas seseorang warga jemaat terhadap orang asing di luar dirinya. Pada psikologi perkembangan yang dipaparkan di atas, jelaslah bahwa ada tahap-tahap kebutuhan-kebutuhan atau masa tertentu di mana seseorang menerima orang asing di luar dirinya. Di sinilah dibutuhkan suatu pendidikan kristian bagi orang dewasa. Selain tahap-tahap perkembangan tersebut, kriteria lainnya untuk dewasa adalah: mampu mengenali dan menerima diri sendiri, mampu menerima keberadaan orang lain, mampu mengarahkan hidup kepada orang lain dan mampu berpikir dan bertindak mandiri.[9] Selain itu, ciri-ciri dewasa lainnya menurut Martha M. Leypoldt adalah mampu mengenal dan mengakui perasaan-perasaan bermusuhan (hostile feelings) dan mengarahkannya ke hal-hal yang kreatif dan konstruktif, mampu berelasi kepada orang lain dalam suatu cara yang konsisten dan melakukan kepada yang lain apa yang dia ingin orang lain lakukan kepadanya, mampu berempati dengan yang lain.[10]

Para pendidik di jemaat melalui psikologi perkembangan ini dapat memulai pendidikan kristiani bagi orang dewasa. PK untuk orang dewasa mempunyai tekanan utama pada upaya membekali orangtua supaya mampu menjadi pendidik yang baik dan ampuh bagi anak-anak mereka. Selain membekali orang untuk mampu menjadi orangtua, PK untuk orang dewasa melalui sumbangan psikologi perkembangan adalah menolong orang dewasa bertumbuh dan menjadi dewasa.

Psikologi perkembangan ini penting untuk diketahui oleh para pendidik di jemaat, karena warga jemaat merupakan persekutuan orang yang terdiri dari latar belakang budaya, suku, dll. Para pendidik di jemaat diajak untuk menyajikan pembelajaran yang terbuka sekaligus bermakna bagi warga jemaatnya sehingga warga jemaat dapat bereksplorasi hal-hal baru dalam sebuah suasana yang mendukung. Para pendidik dipanggil untuk “membuka pintu-pintu” sehingga warga jemaat dapat melihat kesempatan-kesempatan atau potensial-potensial baru dalam diri mereka yang mereka tidak sadari. Para pendidik belajar bagaimana membuka pintu-pintu dan kapan membuka pintu-pintu.[11] Setelah mengetahui tahap-tahap perkembangan anak, maka para pendidik menjadi seorang yang hospitalitator, yaitu mampu mengenal dan mengakui perasaan-perasaan bermusuhan dan mengarahkannya ke hal-hal yang kreatif dan konstruktif.

 

DAFTAR PUSTAKA

Chance, Paul & T. George Harris, The Best of Psychology Today. USA; McGraw-Hill, 1990

Fowler, James. Stages of Faith. : The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning. San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1981

Gunarsa, Singgih D. Dasar dan Teori Perkembangan Anak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006

Ismail, Andar. Selamat Panjang Umur Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001

___________. Selamat Berkembang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003

Leypoldt, Martha M. Learning is Change. USA: Judson Press, 1971

Mardiatmadja, B.S. Panggilan Hidup Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1982

Palmer, Parker J. The Company of Stranger New York: Crossroad, 1981

Rupp, Anne Neufeld. Growing Together: Understanding and Nurturing Your Child’s Faith Journey. Kansas: Faith & Life Press, 2000

Shelton, Charles M. Menuju Kedewasaan Kristen, terj. PC. Radno Harsanto Yogyakarta: Kanisius, 1988

 

CATATAN AKHIR

[1] Parker J. Palmer, The Company of Stranger (New York: Crossroad, 1981).

[2] Charles M. Shelton, Menuju Kedewasaan Kristen, terj. PC. Radno Harsanto (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 26.

[3] Anne Neufeld Rupp, Growing Together: Understanding and Nurturing Your Child’s Faith Journey. (Kansas: Faith & Life Press, 2000), h. 229. Lih. juga Andar Ismail, Selamat Berkembang. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), h. 115-118.

[4] Parker J. Palmer, The Company of Stranger (New York: Crossroad, 1981), h. 49.

[5] Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), h. 107.

[6] Paul Chance & T. George Harris, The Best of Psychology Today (USA; McGraw-Hill, 1990), h. 154.

[7] B.S. Mardiatmadja, Panggilan Hidup Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1982), h. 49.

[8] James Fowler, Stages of Faith. : The Psychology of Human Development and the Quest for Meaning. (San Fransisco: Harper & Row Publishers, 1981).

[9] Andar Ismail, Selamat Panjang Umur (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), h. 75-76

[10] Martha M. Leypoldt, Learning is Change. (USA: Judson Press, 1971), h. 11.

[11] Ibid.,h. 24

Image

Image

Harun D. Simarmata

Pendidikan Agama Kristen